Ruang Bercerita
Selamat datang di blog saya. Ini adalah ruang untuk berbagi cerita berupa essay, cerpen atau tips buat kamu yang perlu inspirasi lebih dari dunia maya.
Minggu, 22 Juni 2025
Yang Tersisa di Ujung Sungai Kapuas
Namaku Sari. Aku lahir dan besar di sebuah desa kecil di tepian Sungai Kapuas, Kalimantan Barat. Desa kami, meski terpencil, memiliki keindahan yang tak bisa dilukiskan dengan kata. Hutan yang menghijau sepanjang mata memandang, suara burung yang tak pernah berhenti bersahut-sahutan, dan arus sungai yang mengalir tenang seperti menyimpan ribuan rahasia. Di sanalah aku bertemu dengan lelaki yang mengubah hidupku—Reza.
Aku pertama kali mengenalnya saat sedang membantu ibu menjual sayur di pasar apung. Reza bukan anak kampung. Ia datang dari Pontianak, seorang relawan pendidikan yang ditempatkan di sekolah dasar desa kami. Ia tinggi, berkulit sawo matang, dengan senyum yang selalu terasa tulus, dan mata yang menyimpan rasa ingin tahu yang besar tentang kehidupan kami.
“Ada tahu?” tanyanya waktu itu sambil menunjuk ke bakul anyaman tempat ibu meletakkan dagangan.
Aku mengangguk. “Tahu goreng atau tahu isi?”
Ia tertawa kecil. “Dua-duanya boleh?”
Itulah awalnya. Kami mulai sering berbicara. Reza dengan keingintahuan dan kesopanannya, aku dengan kekikukan yang perlahan-lahan mencair. Ia sering datang ke rumah, pura-pura membeli telur atau kelapa, tapi lebih sering duduk di teras sambil berbincang dengan ayahku tentang kondisi sekolah atau jalan rusak di desa kami.
Hubungan kami berkembang perlahan. Tidak ada kata cinta yang diucapkan. Tidak ada gombalan atau janji. Tapi tiap sore, ia mengantar anak-anak pulang naik perahu kecil, lalu menyempatkan mampir ke rumahku hanya untuk bertanya, “Sudah makan, Sari?” Atau sekadar, “Hari ini cuacanya panas ya.”
Tiga bulan sejak ia datang, aku tahu aku jatuh cinta. Tapi aku juga tahu cinta ini tidak mudah. Reza seorang muslim yang taat, sedangkan aku… aku keturunan Dayak, dan keluargaku masih memegang adat dan kepercayaan lama. Aku tumbuh dengan ritual-ritual leluhur: upacara tiwah untuk menghormati arwah, dan pantangan-pantangan yang tak boleh dilanggar. Di rumah kami, aroma dupa dan suara gendang sering terdengar saat malam purnama.
Suatu malam, Reza memberanikan diri bicara.
“Sari,” katanya lirih di tepi sungai. Bulan separuh tergantung di langit. “Apa kau percaya kita bisa bersama?”
Aku menoleh padanya. Suara jangkrik menyelimuti keheningan. “Aku tidak tahu. Aku ingin percaya.”
Dia mengangguk pelan. “Aku ingin mengenal keluargamu lebih dalam. Boleh?”
Aku mengangguk, walau dalam hati ada rasa takut. Ayah tidak akan mudah menerima. Ibu, meski lembut, sangat menjunjung tinggi adat. Dan satu hal lagi—hubungan beda keyakinan seperti kami masih dianggap aib di tempat kami.
Hari itu Reza datang ke rumah kami secara resmi, aku menyiapkan hati sebaik mungkin. Ia mengenakan baju koko putih dan membawa buah tangan dari kota. Ayah duduk di depan rumah dengan wajah datar. Ibu menyuguhkan kopi tanpa senyum. Tak ada percakapan hangat. Hanya suara jangkrik dan desir angin malam yang terdengar.
Ayah menatap Reza lama. “Kau tahu Sari bukan dari duniamu?”
Reza mengangguk. “Saya tahu, Pak.”
“Dan kau tahu kami tidak menikahkan anak kami dengan orang yang berbeda keyakinan.”
Reza menunduk. “Saya tidak ingin memaksakan, Pak. Saya hanya ingin mencoba.”
Ayah mendengus. “Kau bisa mencoba. Tapi sungai tetap sungai, dan daratan tetap daratan. Tak bisa disatukan tanpa banjir.”
Malam itu Reza pamit dengan mata yang basah. Aku menahannya sebentar di bawah pohon jambu belakang rumah.
“Kau masih yakin?” tanyaku.
Dia tersenyum, getir tapi hangat. “Aku tidak akan menyerah.”
Setelah malam itu, Reza semakin jarang datang ke rumah. Bukan karena menyerah, tapi karena ia ingin memberi ruang. Aku bisa melihat dari kejauhan, sesekali saat ia lewat naik sepeda motor tuanya menuju sekolah, pandangannya tetap mencari ke arah rumahku. Ia masih ada, hanya menjaga jarak.
Aku mencoba bersikap biasa, membantu ibu ke ladang, ikut ritual panen, menumbuk padi, menjemur hasil kebun. Tapi tiap malam, aku duduk di tepi sungai, mendengarkan suara air mengalir sambil berharap ada suara langkahnya dari balik semak. Reza pernah bilang, “Sungai ini saksi kita, Sar. Apa pun yang terjadi nanti, biar dia yang menyimpan semuanya.”
Tiga minggu sejak pertemuan itu, ibu akhirnya memulai percakapan yang paling sulit bagiku.
“Kau benar-benar mencintai dia?” tanyanya sambil menampi beras di dapur.
Aku tidak menjawab.
Ibu menghela napas. “Sari… kadang cinta itu tidak cukup. Dunia kita terlalu berbeda. Kau anak sulung. Kau tahu tanggung jawabmu.”
Aku tahu. Aku sangat tahu. Sebagai anak tertua, aku harus menjaga nama keluarga, menjadi contoh adik-adikku, dan kelak menjadi penjaga tradisi.
Tapi malam-malamku semakin hampa. Hari-hari terasa menggantung. Hingga suatu sore, Reza menungguku di dekat dermaga kecil, tempat biasanya aku menjemput air bersih dari sungai.
“Aku ingin pamit, Sar,” katanya pelan.
Aku menoleh cepat. “Pamit? Ke mana?”
“Penempatan tugasku sudah selesai. Aku akan kembali ke Pontianak. Besok pagi.”
Dunia seakan berhenti. Aku menatapnya, mencoba memahami kalimat itu. Tapi kepalaku berdenyut. Hatiku nyeri.
“Kenapa gak bilang dari kemarin-kemarin?” suaraku pecah.
Reza menunduk. “Aku pikir… kalau aku kasih tahu, kau akan lebih sakit. Tapi ternyata aku yang gak sanggup pergi tanpa pamit.”
Aku duduk di atas papan kayu, tangan gemetar. Ia duduk di sebelahku. Lama kami hanya diam.
“Aku gak pernah nyangka, Sar,” katanya akhirnya. “Gak pernah nyangka aku bisa jatuh cinta sedalam ini di tempat sekecil ini. Sama orang sekuat kamu.”
Aku menahan air mata. “Aku juga gak pernah nyangka. Tapi… kenapa harus seperti ini akhirnya?”
Ia mengangkat kepalaku dengan tangannya. “Karena kita hidup di dunia yang nyata. Dan kenyataannya, cinta kita gak punya tempat untuk tumbuh tanpa melukai terlalu banyak orang.”
Seketika aku menangis. Bukan hanya karena ia akan pergi. Tapi karena kami sama-sama tahu, kami tidak bisa melawan semuanya. Reza adalah lelaki yang baik. Tapi kebaikan tidak cukup untuk meluluhkan tembok adat dan keyakinan yang tertanam sejak ratusan tahun lalu di desaku.
Pagi itu, aku datang ke dermaga. Tidak untuk melarangnya pergi. Tapi untuk memeluknya terakhir kali.
Ia membawa ransel biru, jaket favoritnya yang sering ia pakai saat malam mengajar, dan selembar surat yang diselipkannya ke tanganku.
“Aku gak bisa janji kita akan bertemu lagi, Sar. Tapi aku janji, kau gak akan pernah aku lupakan.”
Kami hanya berdiri. Tak ada pelukan panjang seperti di film. Tak ada kata-kata mewah. Hanya dua manusia yang berdiri di ujung takdirnya. Lalu Reza melangkah naik ke perahu motor yang akan mengantarnya ke pelabuhan.
Aku berdiri di sana sampai suara mesin tak terdengar lagi. Sampai hanya suara sungai yang tersisa. Sungai Kapuas yang tetap mengalir tenang, seolah tahu bahwa satu bagian hatiku ikut terbawa arus pagi itu.
Isi Surat Reza
“Sari,
Maafkan aku harus pamit begini. Tapi aku ingin kau tahu, kau adalah rumah terindah yang pernah aku singgahi. Kadang hidup tidak memberikan kita pilihan yang adil. Tapi aku bersyukur, semesta sempat mempertemukan kita.
Jangan benci adatmu, jangan benci keluargamu. Mereka hanya menjaga apa yang mereka yakini. Sama seperti aku menjaga imanku. Tapi cinta kita—biarlah tetap hidup di kenangan.
Jika suatu saat kita bertemu lagi, entah di mana, aku harap kita bisa tersenyum. Bukan karena akhirnya bersama, tapi karena pernah mencintai dengan tulus.
Reza.”
Hari-hari setelah kepergian Reza adalah hari-hari yang berat. Aku kembali pada rutinitas, tapi tidak pernah lagi ke dermaga saat senja. Aku takut melihat bayangan diriku sendiri. Setiap suara motor lewat membuat jantungku berdebar, berharap itu dia, meski tahu itu mustahil.
Aku menyimpan surat itu di kotak kecil yang kubuat dari kayu ulin. Aku taruh di bawah kasur, bersama kenangan yang tak pernah bisa kuceritakan pada siapa pun. Bahkan pada adik perempuanku, yang kadang bertanya kenapa aku jadi pendiam.
Tapi satu hal yang kutahu pasti—aku tidak menyesal.
Tiga tahun berlalu sejak pagi itu di dermaga. Tapi rasanya baru kemarin aku melihat Reza melambaikan tangan sambil membawa ransel birunya. Waktu memang berjalan, tapi tak semua luka ikut sembuh bersamanya.
Aku kini menjadi guru honorer di SD tempat Reza dulu mengajar. Ya, hidup kadang seperti lingkaran. Tempat ia datang, adalah tempat aku menetap. Anak-anak sering bertanya, “Bu Sari, siapa yang ngajarin Ibu ngajar kayak Pak Reza?” Dan aku hanya tersenyum, tak pernah menjawab. Tak ada gunanya menyebut nama yang kini hanya hidup dalam kenangan.
Setiap sudut sekolah menyimpan jejaknya. Meja guru yang dulu ia pakai masih kusimpan rapi. Papan tulis dengan coretan kapur bertuliskan “Belajar itu petualangan” pernah ia tulis suatu pagi saat anak-anak malas belajar. Masih kuingat dengan jelas bagaimana dia tertawa sambil membujuk si kecil Joni yang menangis karena tak bisa membaca. Reza tak pernah memaksa, dia mengajar dengan hati.
Hari-hari terasa datar tanpa dia. Tapi aku perlahan belajar menerima. Seperti sungai Kapuas yang terus mengalir tanpa mengeluh, aku pun belajar melanjutkan hidup tanpa menyimpan dendam. Aku tidak menyalahkan siapa pun. Tidak pada Reza. Tidak pada ayahku. Tidak juga pada adat. Hidup memang tidak harus adil, tapi harus dijalani.
Suatu malam, saat bulan purnama, aku menemani ibu melakukan ritual kecil untuk leluhur. Di tengah asap dupa dan denting suara gong kecil, aku memandangi langit. Bertanya dalam hati: apakah Reza juga sedang menatap langit yang sama dari kota jauh di sana?
Sepekan kemudian, sebuah surat datang. Tanpa nama pengirim. Hanya cap pos dari Pontianak. Aku tahu itu dari Reza bahkan sebelum membacanya.
“Sari,
Aku dengar dari seorang teman lama kalau kamu sekarang mengajar. Hatiku hangat mendengarnya. Kau pasti menjadi guru yang baik, seperti dulu kau menjadi pendengar yang sabar untuk semua ceritaku.
Aku sudah bertunangan. Dia baik. Dia juga mengajar. Mungkin semesta tahu aku harus terus berjalan. Tapi malam-malam masih terasa sepi tanpa obrolan kita. Tanpa suara sungai Kapuas dan aroma kopi buatan ibumu.
Tapi aku tidak menyesal. Kau pernah menjadi tempat pulang terbaik.
Terima kasih telah mengizinkanku singgah.
Reza.”
Tanganku gemetar saat membaca kalimat itu. Entah kenapa, meski aku sudah mencoba kuat, air mata tetap mengalir. Bukan karena cemburu. Tapi karena hati ini diam-diam masih menyisakan ruang kecil yang menolak melupakan.
Aku duduk di depan rumah, memandangi sungai yang tetap tenang. Kadang aku bertanya-tanya, bagaimana hidupku jika saat itu kami melawan? Jika aku nekat pergi meninggalkan desa, meninggalkan adat, dan ikut Reza ke kota?
Tapi apakah bahagia bisa bertahan jika dibangun di atas luka orang lain?
Aku tidak tahu.
Yang aku tahu, aku masih hidup. Dan aku bahagia dengan pilihan yang telah aku buat, meski kadang kesepian datang tanpa permisi.
Beberapa tahun kemudian, aku menikah dengan seorang pemuda Dayak dari desa tetangga. Ia baik, sederhana, dan tidak banyak bertanya tentang masa laluku. Kami hidup sederhana di rumah kecil di tepi sungai. Tapi saat malam sunyi, ketika suamiku tertidur dan hanya ada suara air mengalir, kadang kenangan itu kembali.
Kenangan tentang seorang lelaki dari kota, yang datang dengan senyum ramah dan pergi dengan membawa setengah jiwaku.
Epilog:
Sungai Kapuas masih mengalir, membawa ratusan cerita dari hulu ke hilir. Dan di antara riak-riaknya, tersimpan satu kisah tentang cinta yang tak bisa menjadi nyata.
Aku, Sari, tetap tinggal di sini, menjadi saksi bahwa tidak semua cinta harus dimiliki. Beberapa cukup disimpan dalam hati. Sebagai pelajaran. Sebagai kenangan. Dan sebagai pengingat bahwa pernah, di suatu masa, aku mencintai seseorang sepenuh jiwa—meski pada akhirnya, yang bisa aku lakukan hanyalah melepaskannya dengan ikhlas. (TAMAT)
IKN: “Jalan Tol ke Surga, Tapi Kami Tetap di Neraka Infrastruktur”
Kalau kau pernah duduk-duduk sore di warung kopi pinggir jalan di Samarinda atau Balikpapan, ada satu topik yang hampir selalu muncul: IKN. Bukan cuma karena topik ini sedang hangat, tapi karena rasanya kayak luka yang belum sempat sembuh, malah disiram lagi.
“Ibu kota baru? Keren sih,” kata Pak Rahman, tetanggaku yang kerja sebagai supir truk batu bara. “Tapi kami di sini belum punya puskesmas yang layak. Sekolah anakku juga masih bolak-balik mati lampu. Apa ya, jangan-jangan ibu kota ini bukan buat kami.”
Itu kalimat yang, jujur saja, mewakili isi hati banyak warga Kaltim.
Sejak diumumkan pertama kali bahwa sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara akan jadi lokasi pemindahan ibu kota negara, warga lokal antara senang dan bingung. Senang karena katanya bakal banyak lapangan kerja. Tapi bingung karena kok rasanya kami cuma nonton dari jauh, kayak penonton di pinggir lapangan bola. Kami lihat pembangunan jalan tol, gedung kementerian yang mewah, tapi anak-anak kami masih harus menyeberangi sungai naik perahu demi bisa sekolah.
Pembangunan yang Tak Seimbang
IKN memang dibangun dengan visi masa depan: kota hijau, cerdas, dan modern. Tapi coba tengok sedikit saja ke luar dari kawasan inti IKN. Jalan desa masih banyak yang becek kalau hujan. Listrik? Di Mahakam Ulu sana, masih banyak kampung yang hanya menikmati listrik 6 jam sehari dari genset desa. Bahkan sinyal HP kadang lenyap begitu saja, kayak mantan yang hilang tanpa pamit.
“Kenapa pemerintah bisa bangun jalan tol puluhan kilometer buat IKN, tapi kami harus sabar dengan jalan rusak bertahun-tahun?” kata Bu Narti, guru honorer di Kutai Barat yang tiap hari naik motor lewat jalan berbatu demi sampai ke sekolah. “Jangankan fasilitas canggih, bangunan sekolah kami saja masih pakai papan kayu.”
Itu belum ngomongin soal fasilitas air bersih. Di banyak tempat di Kaltim, warga masih ngandelin air hujan atau air sungai yang kadang keruh. Sementara itu, proyek air minum di kawasan IKN dikebut pakai anggaran negara yang miliaran rupiah.
Ekonomi yang Tidak Menetes
Salah satu janji manis yang dulu digembar-gemborkan adalah ekonomi warga lokal akan terdongkrak. Tapi, sejauh ini, yang terlihat justru harga tanah yang melambung, dan warga asli yang makin terpinggirkan. Banyak lahan warga yang katanya “dibebaskan”, tapi harga ganti ruginya nggak masuk akal. Bahkan ada yang bilang, “kami hanya dijadikan pelengkap administrasi.”
Lapangan kerja? Ada sih, tapi banyak yang bilang pekerja yang diambil kebanyakan dari luar daerah. “Orang dari Jawa yang bawa proyek, orang dari luar yang pegang tender. Kami cuma kebagian jadi tukang bangunan, itupun kalau beruntung,” kata Andi, pemuda dari Sepaku yang sempat kerja harian di proyek pembangunan.
Mimpi IKN jadi pemicu ekonomi baru bagi Kalimantan masih belum terasa. Sementara itu, biaya hidup mulai naik, dan warga lokal justru semakin tertekan.
Pendidikan: Masih Jauh dari Layak
Coba datangi sekolah-sekolah di pedalaman Kaltim. Banyak yang bangunannya reot, guru-guru masih honor, dan jumlah murid makin sedikit karena akses sulit dan keluarga tak mampu. Bandingkan dengan kampus-kampus futuristik yang direncanakan untuk IKN, lengkap dengan fasilitas smart learning dan riset mutakhir.
“Anak saya pengen kuliah di kota, tapi kami nggak punya biaya. Sementara saya dengar nanti di IKN mau dibangun kampus internasional,” ujar Pak Dullah, petani dari daerah Muara Kaman. “Kami cuma bisa mimpi, padahal ini tanah kami juga.”
Kalau pendidikan yang ada sekarang saja belum merata, bagaimana mungkin kami bisa bersaing saat IKN sudah berjalan? Bukankah seharusnya pembangunan pendidikan dimulai dari bawah, dari yang paling tertinggal?
IKN untuk Siapa?
Inilah pertanyaan yang makin sering muncul. IKN dibangun dengan narasi “pemerataan pembangunan”. Tapi yang terasa di lapangan justru ketimpangan yang makin nyata. Kota dalam kota itu rasanya seperti menara gading: berdiri megah di tengah-tengah hutan dan kemiskinan.
Orang tua kami dulu jaga tanah ini, hutan ini. Sekarang hutan digunduli, bukit dikeruk, demi proyek besar yang katanya demi masa depan bangsa. Tapi masa depan siapa, sebenarnya?
Ada semacam rasa takut di hati warga: bahwa kami hanya akan jadi penonton, atau lebih buruk, jadi korban dari pembangunan yang tak berpihak. Ketika tanah sudah berubah jadi kota, dan kota itu bukan untuk kami, lalu kami harus tinggal di mana?
Kami tidak anti pembangunan. Tidak. Justru kami ingin maju. Kami ingin punya jalan yang bagus, sekolah yang layak, rumah sakit yang lengkap. Kami ingin anak-anak kami bisa bermimpi besar tanpa harus meninggalkan kampung halaman.
Tapi kami juga ingin diperlakukan adil. Kami ingin suara kami didengar, bukan hanya diminta ikut tepuk tangan. Kami ingin dilibatkan, bukan sekadar dijadikan objek pembangunan.
Kalau IKN memang untuk semua, tunjukkan itu dengan kebijakan nyata. Bangun sekolah kami. Perbaiki jalan desa. Tambahkan kuota guru dan dokter di daerah-daerah kami. Jangan biarkan proyek sebesar ini hanya jadi etalase, sementara dapur kami tetap kosong.
Penutup: Sebuah Harapan
Warga Kaltim bukan orang yang suka ribut. Kami sabar, kami tahu diri. Tapi kami juga punya hak. Hak untuk hidup layak di tanah sendiri. Hak untuk menikmati hasil dari kekayaan yang selama ini kami jaga.
IKN boleh jadi simbol masa depan Indonesia, tapi jangan lupakan siapa yang ada di sekitarnya. Jangan sampai pembangunan ibu kota baru malah melahirkan ketimpangan yang baru pula.
Kami tidak ingin jadi orang asing di kampung halaman sendiri. Kami ingin jadi bagian dari masa depan, bukan sekadar cerita di balik megaproyek yang gemerlap.
Sabtu, 21 Juni 2025
Warisan Gelap dari Tanah Leluhur : Sekali Masuk Dunia Gaib, Tak Bisa Keluar!!
![]() |
seorang dukun dikelilingi makhluk ghoib (ilustrasi) |
Aku tumbuh dikelilingi aroma kemenyan, suara mantra yang dilantunkan tengah malam, dan kisah-kisah menyeramkan yang bukan hanya didengar, tapi juga dilihat langsung. Di desa ini, tak ada yang namanya “kebetulan”. Kalau seekor ayam mati mendadak, pasti ada yang mengirim santet. Kalau seorang perempuan tiba-tiba gila, pasti ada roh leluhur yang masuk ke tubuhnya.
Suasana Desa yang Tak Pernah Sepi dari Gaib
Desa Panggong dikelilingi hutan lebat yang selalu berkabut. Bahkan di siang bolong, kabut tipis sering menggantung rendah di antara pepohonan. Suara burung malam dan serangga seperti tak kenal waktu. Jalan tanah yang menghubungkan antar rumah hanya setapak sempit yang kalau hujan akan berubah menjadi lumpur dalam.
Rumah-rumah di sini terbuat dari kayu ulin tua, berdiri di atas tiang, beratap sirap, dan dikelilingi pekarangan luas yang ditumbuhi tanaman perdu. Di sudut-sudut rumah, hampir selalu ada altar kecil tempat sesajen diletakkan setiap malam Jumat. Lilin menyala, kembang tujuh rupa, dan kadang darah ayam kampung—semua itu adalah persembahan untuk para penjaga desa, yang dipercaya bukan manusia.
Yang paling membuat bulu kuduk merinding adalah ketika malam turun. Setelah jam 8 malam, hampir semua rumah menutup pintu rapat. Lampu dimatikan. Tak ada yang keluar rumah kecuali mereka yang "punya urusan", entah dengan dukun atau roh halus. Di saat-saat seperti itu, kau bisa mendengar suara-suara aneh dari hutan: rintihan, jeritan jauh yang menggema, dan kadang langkah kaki di atap rumah.
Dan ya, aku pernah melihat sesuatu—bukan sekali, tapi berkali-kali.
Pengalaman
Pertama Melihat Penampakan
Aku
masih berusia delapan tahun saat pertama kali melihat sesuatu yang tak bisa
dijelaskan dengan logika. Waktu itu malam Jumat Kliwon—malam yang dipercaya
warga desa sebagai saat di mana batas antara dunia manusia dan makhluk halus
menjadi paling tipis.
Aku tidur di ruang tengah bersama nenek. Lampu pelita temaram menggantung di sudut ruangan, dan suara tokek dari dinding kayu bersahut-sahutan. Aku terbangun karena mendengar suara langkah kaki pelan, seolah ada seseorang berjalan mondar-mandir di depan rumah. Tadinya kupikir itu paman. Tapi langkah itu terlalu pelan, terlalu berat, seperti kaki yang diseret.
Aku memberanikan diri mengintip dari jendela yang sedikit terbuka. Dan di sanalah aku melihatnya—sesosok perempuan tinggi kurus, mengenakan kain putih lusuh yang kotor seperti habis digulingkan di lumpur. Rambutnya panjang terurai, menutupi wajah. Ia berdiri diam, mematung tepat di depan pohon nangka yang tumbuh di halaman.
Aku terpaku. Nafasku tercekat. Tapi tubuhku tak bisa bergerak. Perempuan itu mengangkat kepalanya perlahan, menoleh ke arah jendela. Wajahnya… kosong, pucat seperti tanpa warna, dan matanya hitam penuh. Ia tersenyum—senyum lebar yang membuat seluruh tubuhku menggigil.
Aku berteriak. Nenek langsung terbangun, memelukku dan berulang kali membisikkan doa. Esok harinya, nenek berkata bahwa itu "penunggu pohon" yang kadang menampakkan diri kalau ada anak kecil yang "terpilih".
Terpilih? Aku tak paham maksudnya. Tapi sejak malam itu, aku tahu, hidupku di desa ini tidak akan pernah lepas dari dunia yang tak terlihat.
Perdukunan, Santet, dan Keluarga Kami
Di
desa Panggong, tidak semua dukun berbuat jahat. Ada dua jenis yang dikenal
masyarakat: dukun putih dan dukun hitam. Dukun putih biasanya dimintai tolong
untuk mengobati orang sakit, mengusir roh jahat, atau menjaga kebun dari
gangguan gaib. Tapi dukun hitam… mereka yang disewa untuk mencelakai orang.
Pamanku, adik ibu, adalah seorang dukun. Ia termasuk yang putih, katanya. Tapi aku tahu, ia juga bisa melakukan sebaliknya jika diminta dan dibayar mahal. Ia sering memandikan keris, membaca rajah dari daun lontar, dan sesekali menyembelih ayam hitam di belakang rumah saat bulan purnama.
Aku pernah melihat langsung seorang tetangga kerasukan, tubuhnya membiru dan lidahnya terjulur panjang. Pamanku menanganinya. Ia membakar kemenyan, menaburkan garam dan bunga di sekeliling pasien, lalu mulai membacakan mantra dalam bahasa yang tak kupahami. Setelah hampir dua jam, tubuh perempuan itu akhirnya tenang, tapi matanya tetap kosong seperti tak ada jiwa di dalamnya.
Orang bilang, roh jahat itu tidak sepenuhnya pergi—ia hanya berpindah ke pohon besar di dekat rumah.
Penampakan yang Menghantui Tidurku
Semakin
aku tumbuh, semakin banyak yang kulihat. Sosok-sosok yang berjalan di belakang
pohon, bayangan tinggi menjulur dari hutan ke halaman, atau suara tawa
perempuan dari kamar mandi saat tak ada orang di sana.
Pernah suatu malam, aku pulang dari acara pemakaman warga desa yang meninggal karena "dikirimkan ilmu". Di perjalanan pulang, aku melewati jalan setapak yang sepi. Gelap. Hanya lampu senter kecil yang menyorot tanah di depanku. Dan tiba-tiba, di tengah jalan, berdiri sosok anak kecil. Ia berdiri menunduk, rambutnya menutupi wajah, mengenakan baju tidur putih.
Kupikir itu anak tetangga, tapi tubuhnya tidak menyentuh tanah.
Aku membeku. Aku mundur perlahan. Tapi sebelum aku bisa berbalik, anak itu mengangkat kepalanya dan suaranya mengerang, bukan seperti anak kecil, tapi seperti suara tua dari perut bumi. “Pulangkan...”
Aku berlari sekuat tenaga tanpa menoleh.
Upacara Leluhur dan Kutukan Keturunan
Setiap
tahun, desa kami mengadakan upacara besar bernama “Bakayun”. Upacara ini
dilakukan untuk menghormati arwah leluhur dan menolak bala. Biasanya, warga
akan membawa persembahan berupa makanan, bunga, dan hewan kurban ke pinggir
sungai. Di sanalah para tetua kampung memanggil roh-roh penjaga desa.
Ada satu cerita menyeramkan tentang keluarga yang tidak ikut upacara karena dianggap “sudah modern”. Dalam sebulan, tiga anggota keluarganya meninggal secara misterius. Yang satu demam tinggi dan mendadak buta, yang lain tiba-tiba tenggelam di kolam sempit, dan satu lagi mati tergantung di kamar padahal tak ada kursi atau tali di sana sebelumnya.
Sejak kejadian itu, tak ada lagi yang berani melewatkan upacara leluhur. Entah percaya atau tidak, di desa ini ada yang bilang: “kalau kau tidak menghormati yang lama, maka yang lama akan mencarimu.”
Malam Ketika Jin Penunggu Datang
Salah
satu pengalaman paling menyeramkan yang tak pernah bisa kulupakan terjadi saat
aku berusia 16 tahun. Malam itu ada suara gong kecil yang dipukul dari arah
balai adat. Itu pertanda ada warga yang kerasukan dan meminta bantuan tetua
desa. Aku ikut ke sana bersama pamanku, penasaran ingin tahu lebih banyak soal
dunia yang selama ini hanya kulihat dari balik jendela.
Di balai adat yang remang-remang, seorang lelaki kurus dengan tubuh penuh luka duduk bersila. Ia menggigil, tapi bukan karena dingin. Matanya merah seperti terbakar, dan tubuhnya tiba-tiba terangkat sedikit dari lantai, tanpa ditopang apa pun. Bau kemenyan sangat menyengat, bercampur bau anyir darah ayam yang baru saja disembelih sebagai persembahan.
Pamanku melantunkan mantra, dan lelaki itu mulai berbicara dengan suara yang dalam dan menggelegar, bukan suara manusia biasa. “Tanah ini bukan milik kalian. Kami sudah lama menjaga hutan ini. Tapi kalian terus menebang, mengotori sungai, dan melupakan kami.”
Ternyata, itu suara jin penjaga hutan yang marah karena beberapa warga mulai menjual lahan ke perusahaan sawit. Ia menuntut persembahan khusus—bukan ayam, bukan babi, tapi darah manusia dari garis pelanggar.
Malam itu, ritual penebusan dilakukan. Seorang tetua kampung memotong ujung jarinya, darahnya ditampung dan dilempar ke sungai. Ritual seperti itu, yang mungkin terdengar gila bagi orang kota, adalah bagian dari kehidupan di desa kami.
Kisah Pohon Tua dan Kutukan Bayi Menangis
Ada
sebuah pohon besar di dekat rumah nenek—pohon kapur tua yang dikenal sebagai
tempat “bersemayamnya anak-anak halus.” Setiap malam Jumat, hampir pasti
terdengar suara bayi menangis dari arah pohon itu. Tapi kalau dicari, tak ada
siapa-siapa. Suara itu kadang disusul bau busuk seperti bangkai, atau angin
dingin yang berhembus tanpa sebab.
Suatu ketika, seorang pemuda baru dari luar desa—menantu salah satu warga—nekat menebang pohon itu karena dianggap menghalangi jalan. Ia mengabaikan peringatan warga dan tertawa sinis saat disebut “tak sopan pada penunggu.”
Dua hari kemudian, anaknya yang masih bayi tiba-tiba demam tinggi, menangis sepanjang malam tanpa bisa ditenangkan. Matanya kosong. Mulutnya komat-kamit. Dokter dari kota tidak bisa menemukan penyakit apa pun.
Pamanku dipanggil. Ia hanya berkata, “Penunggu itu mengambil roh anak ini sebagai pengganti rumahnya yang ditebang.”
Butuh tujuh hari tujuh malam, dengan ritual penuh darah dan mantra, untuk menyelamatkan anak itu. Setelah pohon yang tumbang diberi sesajen dan didirikan ulang sebuah tugu kecil, barulah si bayi kembali normal.
Pilihan: Bertahan atau Pergi
Hidup
di desa seperti Panggong tidak mudah. Setiap hari harus hidup berdampingan
dengan sesuatu yang tak terlihat. Tak ada keputusan yang bisa diambil
sembarangan, karena segalanya bisa berdampak pada hubungan dengan makhluk gaib.
Orang-orang harus tahu hari baik untuk menanam, hari buruk untuk bepergian,
bahkan waktu tertentu yang pantang melahirkan anak.
Aku pernah sakit keras saat usia dua puluh. Badan panas tinggi, tapi dokter mengatakan tidak ada infeksi atau tanda medis apa pun. Ibuku akhirnya membawa aku ke seorang dukun tua yang tinggal di tepi sungai. Di sana, ia mengusap tubuhku dengan daun sirih dan membakar kain putih bekas pakaian yang tak sengaja kubakar minggu sebelumnya—rupanya kain itu, menurut sang dukun, berisi “penjaga” dari nenekku yang dulu, dan aku telah menyinggungnya.
Sejak kejadian itu, aku mulai berpikir: sampai kapan aku hidup seperti ini?
Akhirnya, dengan berat hati, aku memutuskan untuk pergi dari desa. Bukan karena benci, tapi karena aku tak sanggup lagi hidup dalam ketakutan. Aku ingin melihat dunia lain—dunia yang tidak selalu diwarnai rasa was-was karena suara dari balik pohon atau langkah kaki yang tak punya bayangan.
Setelah Pergi, Namun Tak Pernah Lupa
Meski
aku kini tinggal di kota, jauh dari hutan dan pohon besar, bayangan masa
kecilku di Desa Panggong tidak pernah benar-benar hilang. Setiap kali aku
menyalakan dupa atau mencium bau tanah basah, ingatanku kembali pada
suara-suara gaib dari balik jendela, atau perempuan berjubah putih yang pernah
menatapku dalam diam.
Aku masih sering bermimpi berjalan di jalanan desa yang berkabut, dan bertemu nenekku di ambang pintu rumah kayu. Kadang, dalam mimpiku, aku mendengar suara perempuan berbisik, “Kau tak pernah benar-benar pergi…”
Mungkin benar kata orang tua di kampung: “Sekali kau menjadi bagian dari dunia gaib, kau tak akan pernah benar-benar bebas.”
Desa yang Tak Bisa Dilupakan
Desa
Panggong bukan tempat biasa. Ia bukan sekadar kampung halaman, tapi juga
gerbang antara dunia manusia dan yang tak kasat mata. Di sana, hidup dan mati,
logika dan mistik, berdampingan begitu erat.
Aku, Imran Ibnu, adalah saksi hidup dari kisah yang banyak orang sebut tak masuk akal. Tapi di desa itu, semua kisah seram bukan cerita bohong. Ia adalah napas kehidupan. Dan meski aku memilih pergi, sebagian diriku akan selalu terikat di sana—di antara bisik-bisik dedaunan dan tatapan kosong dari balik pohon tua.
Kalau suatu hari kamu melewati desa terpencil di Kalimantan dan mencium bau kemenyan dari tengah hutan, berhentilah sejenak. Dengarkan. Mungkin, mereka sedang memanggil namamu.
Hantu Tanpa Kepala dari Hulu Belian: Jangan Tatap Matanya !!
![]() |
Hantu kuyang, dipercaya eksis di beberapa daerah Kalimantan. (pixabai) |
Waktu
itu, aku memutuskan untuk ikut program relawan pendidikan di Kalimantan Timur,
tepatnya di sebuah desa terpencil bernama Sungai Belian. Nama desa itu tidak
banyak dikenal orang. Untuk mencapainya, aku harus menempuh perjalanan hampir
dua belas jam dari Samarinda, sebagian besar dengan perahu kecil menyusuri
sungai yang sepi dan berkelok.
Awalnya,
semua terasa menenangkan. Udara segar, suara hutan yang menyejukkan, serta
sambutan hangat dari warga desa membuatku betah. Mereka sangat menghargai
kedatangan orang luar, apalagi yang niatnya membantu pendidikan anak-anak
mereka.
Tapi
baru malam ketiga aku di sana, semua mulai terasa… ganjil.
Hari
itu aku menginap di rumah kepala desa, Pak Jamal, karena rumah guru yang
disiapkan masih direnovasi. Rumah Pak Jamal terbuat dari kayu ulin, berdiri di
tepi sungai dengan halaman belakang yang langsung berbatasan dengan semak
rimbun.
Saat
makan malam, aku melihat istrinya, Bu Erni, memasang benda aneh di tiap
jendela: bawang putih yang diikat dan beberapa potong kain merah.
Aku
pikir itu hanya tradisi. Tapi saat aku bertanya, Bu Erni hanya menjawab
singkat.
“Buat
jaga-jaga aja, Nak.”
Waktu
itu aku mengangguk saja. Aku tidak terlalu mempermasalahkannya. Tapi malamnya,
saat semua orang sudah tidur dan aku hampir terlelap, aku mendengar suara aneh.
Seperti suara desisan… panjang dan berat… bercampur suara angin yang menderu
lewat atap rumah.
Aku
kira hanya hewan malam.
Namun
tidak lama kemudian, aku mendengar suara bayi menangis.
Tangisnya
lirih, seperti dari kejauhan… lalu semakin dekat. Tangisan itu berhenti tepat
di luar jendela kamar tempatku tidur.
Aku
menahan napas. Aku yakin tidak ada bayi di rumah Pak Jamal. Anak-anak mereka
sudah besar. Jadi… siapa?
Aku
bangkit pelan dari tempat tidur, membuka sedikit celah tirai. Dan saat itulah
aku melihatnya. Sesuatu… melayang di luar jendela.
Sosok
kepala wanita, dengan rambut panjang terurai dan wajah pucat pasi. Tapi yang
membuatku hampir pingsan adalah… di bawah lehernya, menjuntai organ-organ
tubuh: usus, hati, paru-paru… semua menggantung dan mengeluarkan tetesan darah
ke tanah.
Aku
terpaku. Tak bisa bergerak. Tubuhku membeku. Makhluk itu—kuyang—mengelilingi
rumah perlahan, seperti sedang mencari celah.
Tiba-tiba
Bu Erni masuk ke kamarku dengan cepat, membawa sebotol minyak dan sebuah kain.
Dia
menarikku ke sudut kamar dan menyiramkan minyak itu ke sekeliling ruangan
sambil komat-kamit membaca doa.
“Jangan
keluar. Jangan lihat lagi. Dia bisa merasakan matamu,” bisiknya.
Aku
hanya bisa mengangguk, gemetar hebat.
Besok
paginya, aku duduk diam di beranda, masih syok.
Pak
Jamal mendekat dan duduk di sampingku.
“Kamu
lihat dia tadi malam ya?”
Aku
tidak menjawab, hanya menatapnya kosong.
Dia
menghela napas panjang.
“Sudah
lama dia tidak datang. Tapi belakangan ini, ada satu dua orang yang bilang
mendengar tangisan bayi di malam hari. Sepertinya dia kembali.”
“Kuyang
itu… apa benar?” akhirnya aku bertanya.
Pak
Jamal mengangguk.
“Dulu,
puluhan tahun lalu, ada perempuan yang tinggal di desa seberang. Dia belajar
ilmu hitam karena ingin tetap cantik dan awet muda. Tapi dia gagal. Malamnya,
tubuhnya ditemukan gosong, tapi kepalanya hilang. Setelah itu, teror kuyang
mulai muncul.”
Aku
hanya bisa menelan ludah.
“Waktu
itu, banyak bayi yang hilang dari kandungan ibunya. Ada yang keguguran, ada
yang perutnya seperti digigit makhluk buas. Sejak itu, semua ibu hamil dijaga
ketat di rumah adat. Tapi belakangan, sudah banyak yang lupa...”
Malam
berikutnya, aku ikut Pak Jamal dan warga ke rumah Bu Dina, salah satu warga
yang sedang hamil tujuh bulan. Mereka mulai melakukan penjagaan bergilir. Rumah
itu dijaga 24 jam.
Aku
ikut berjaga di malam hari bersama dua warga lainnya.
Sekitar
pukul dua dini hari, tiba-tiba kami mendengar suara anjing menggonggong keras
dari arah sungai. Disusul suara sayap mengepak… tapi bukan suara burung. Berat.
Lain.
Langit
gelap. Hanya ada cahaya dari lampu minyak.
Lalu...
terdengar suara tangis bayi lagi. Dari atap rumah.
Warga
langsung bersiaga. Mereka menyulut obor, membawa bawang putih, dan mulai
membaca doa keras-keras.
Dari
bayangan di langit, kami melihat sosok kuyang berputar-putar seperti kelelawar
besar. Tapi wujudnya jelas kepala wanita.
Salah
satu warga, Pak Sarman, melemparkan batu besar. Tapi makhluk itu hanya menghindar
dan tertawa melengking.
Tangis
bayi terdengar makin keras, disusul suara ketukan dari jendela kamar Bu Dina.
“Buka…
aku haus…”
Suaranya
seperti suara wanita, tapi serak dan bergema.
Untungnya
jendela sudah dipaku rapat. Makhluk itu mengitari rumah selama hampir satu jam.
Tapi akhirnya pergi, mungkin karena tidak menemukan celah.
Tapi
malam itu, kami semua tidak bisa tidur. Wajah-wajah ketakutan memenuhi rumah.
Tiga
hari setelah kejadian itu, kabar duka datang dari desa sebelah. Seorang ibu
yang baru saja melahirkan kehilangan bayinya di malam hari. Bayinya hilang
begitu saja, tanpa jejak. Di sekitar rumah, hanya ada tetesan darah dan bau
amis menyengat.
Warga
mulai resah. Kepala adat pun turun tangan. Mereka mengadakan ritual khusus:
pemanggilan roh leluhur untuk mencari tahu asal-usul kuyang yang kembali
meneror.
Aku
diperbolehkan melihat dari jauh. Di rumah adat yang luas, para tetua duduk
melingkar sambil membakar kemenyan dan membaca mantra. Beberapa membawa
sesajen, termasuk darah ayam, telur, dan air sungai.
Setelah
hampir satu jam, tiba-tiba salah satu tetua kerasukan.
Suara
lelaki tua itu berubah menjadi serak dan mengerikan.
“Dia
belum puas… dia belum kenyang… tubuhnya terikat di pohon tua di bukit barat…
kau harus temukan dan bakar tubuhnya… sebelum dia menyatu selamanya…”
Semua
orang hening.
Keesokan
harinya, kami pergi ke bukit barat desa. Tempat itu dikenal angker dan jarang
didatangi orang. Dikelilingi hutan lebat dan pohon besar yang berlumut.
Setelah
mencari hampir dua jam, kami menemukan sebuah pohon besar berlubang di bagian
tengah. Di dalamnya… ada sesuatu.
Tubuh
manusia… tapi hanya bagian badan. Kepala dan organ dalamnya tidak ada. Tubuh
itu dililit kain hitam, bau busuk menusuk hidung.
Tanpa
pikir panjang, para warga langsung membakar tubuh itu dengan kemenyan dan
minyak tanah.
Apinya
membara tinggi. Dari dalam kobaran api, terdengar suara jeritan melengking…
seperti jeritan perempuan yang kesakitan. Suara itu berlangsung hampir satu
menit, lalu hilang.
Hutan
kembali hening. Setelah hari itu, tidak ada lagi suara tangis bayi di malam
hari. Tidak ada lagi kuyang yang berputar di langit. Desa kembali tenang.
Tapi
aku… tidak pernah benar-benar tenang.
Sampai
sekarang, kadang aku masih bermimpi tentang malam itu. Tentang makhluk tanpa
tubuh dengan wajah putih pucat dan usus yang menggantung.
Aku
kembali ke kota setelah kontrak relawan selesai. Tapi kisah itu selalu terpatri
dalam ingatanku.
Kadang
aku bertanya pada diriku sendiri: apakah kuyang itu benar-benar makhluk gaib…
atau ada penjelasan ilmiah di baliknya?
Tapi
saat aku ingat suara tangis bayi yang menggema di tengah malam… aku tahu
jawabannya.
Beberapa
hal… memang tidak bisa dijelaskan dengan logika.
Dan
kuyang… adalah salah satunya.
Rabu, 18 Juni 2025
"Yang Tenggelam Tak Pernah Diam", Sang Arwah Sungai yang Haus Darah!!
![]() |
ular raksasa yang dipercaya sebagai arwah penunggu sungai Kalimantan (pixabay/ilustrasi) |
Sungai itu panjang dan lebar, mengalir membelah hutan yang masih perawan. Airnya tenang, nyaris tidak bersuara, seolah menyembunyikan sesuatu di balik ketenangannya. Warga desa sekitar menyebutnya “Sungai yang Memanggil.” Kata mereka, kalau kau duduk sendirian di tepian dan mendengar namamu dipanggil dari arah air, jangan dijawab. Jangan menoleh.
Awalnya aku tak percaya.
Aku datang bersama empat rekan: Dodi, Rian, Togar, dan satu mandor lokal bernama Pak Darius. Kami tinggal di rumah panggung yang disewa dari warga. Setiap pagi kami menyusuri hutan untuk meninjau lokasi proyek, dan sore hari kembali dengan tubuh penuh lumpur.
Hari-hari pertama terasa biasa saja. Sampai malam keempat, saat Dodi menghilang.
Malam yang Aneh
Waktu itu sudah hampir tengah malam. Kami sedang duduk di beranda rumah, minum kopi sambil mengobrol. Dodi pamit turun ke sungai untuk mencuci kaki.
"Lima menit aja," katanya. "Badan gerah banget."
Aku sempat menegur, “Udah malem, Dod. Mending besok pagi aja.”
Tapi dia hanya tertawa kecil. "Airnya dingin, bro. Biar segar dikit."
Dodi turun dengan senter kecil. Kami terus mengobrol, sampai sadar… dia tak kembali.
Sepuluh menit. Dua puluh menit. Lalu setengah jam. Kami mulai gelisah.
Aku dan Togar turun ke sungai, memanggil-manggil namanya.
“Dod! Woi, Dodi!”
Tak ada sahutan. Senter yang ia bawa pun tak terlihat.
Kami terus menelusuri pinggiran sungai, hingga Pak Darius datang tergesa-gesa membawa lampu petromak.
“Dia nyemplung?” tanyanya cepat.
“Enggak tahu. Dia cuma mau cuci kaki,” jawabku, mulai panik.
Kami menyisir pinggiran sungai. Lampu petromak menyorot air yang tenang… terlalu tenang. Tak ada gelembung. Tak ada riak. Seperti kaca hitam pekat.
Lalu… terdengar suara.
“Doooood…”
Aku menoleh cepat ke arah hutan. Suara itu… seperti suara Dodi. Tapi serak. Panjang. Menggema. Dan seperti datang dari air.
Pak Darius mencengkeram lenganku. “Jangan jawab. Ayo balik ke rumah. Cepat!”
“Dia Sudah Diambil”
Di rumah, kami duduk pucat pasi. Tak ada yang bicara selama hampir satu jam.
Akhirnya Pak Darius angkat suara.
“Kalian tahu kenapa orang sini nggak mandi malam di sungai?”
Kami menggeleng.
“Karena sungai ini dijaga,” katanya pelan. “Penunggunya nggak suka kalau malam diganggu. Apalagi kalau orang asing.”
Kami masih mencoba berpikir rasional. Tapi bagaimana menjelaskan suara Dodi? Kenapa ia tak kembali? Tidak ada jejak, tidak ada suara percikan, tidak ada jeritan. Hanya… hilang.
“Mungkin dia terpeleset…” Rian mencoba menjelaskan.
“Tapi pasti ada suara!” bentak Togar. “Dia nggak mungkin hilang gitu aja!”
Pak Darius lalu bercerita. Dulu, katanya, sungai itu dipakai warga sebagai tempat ritual persembahan. Setiap tahun, mereka melempar sesajen—ayam hitam, telur, dan minyak wangi—ke tengah arus untuk menjaga ketenangan roh penjaga sungai.
“Tapi makin ke sini, orang makin lupa. Termasuk kepala desa sekarang,” ucapnya lirih. “Dan penunggu itu… mulai marah.”
Pencarian yang Sia-Sia
Esoknya, warga dan kami menyisir sungai sejak pagi. Kami pakai perahu kecil, menyusuri tiap sudut, membalik semak, mencari jejak Dodi.
Tak ada apa-apa. Sungai itu tetap diam. Seolah menelan Dodi dan merahasiakannya.
Tapi satu hal yang aneh… di dekat akar pohon beringin besar, kami menemukan senter Dodi. Tergeletak menyala, lampunya redup… menghadap ke air.
Dan di sekitar itu, tanahnya becek… tapi tak ada jejak kaki sama sekali. Hanya jejak seperti… seretan ekor panjang.
Pak Darius langsung gemetar. “Itu jejaknya…”
“Apa maksudnya?” tanyaku.
“Siluman ular air… dia penjaga sungai ini. Kalau lapar, dia memanggil. Dan kalau dijawab… dia menelan.”
Wujudnya Menampakkan Diri
Tiga malam setelah hilangnya Dodi, kami sepakat untuk segera pulang. Tapi malam sebelum keberangkatan, kejadian paling mengerikan terjadi.
Aku terbangun karena mendengar suara air berkecipak keras.
Seperti ada sesuatu yang sangat besar bergerak di sungai.
Aku bangkit, mengintip dari celah jendela.
Apa yang kulihat membuat jantungku seperti berhenti berdetak.
Sosok raksasa menjulang dari air. Berbentuk seperti ular, namun bersisik besar kehitaman. Kepala makhluk itu seperti buaya tua—matanya merah menyala, dan giginya… panjang, mengerikan. Di punggungnya tumbuh tonjolan seperti duri.
Ia melata di atas permukaan sungai dengan perlahan… matanya menatap ke arah rumah kami.
Tiba-tiba suara seperti erangan muncul dari mulutnya. Berat. Dalam. Seolah dari dasar bumi.
“Aaaaangg… kaaamuuu… belum… pulang…”
Itu… suara Dodi. Tapi dari dalam mulut makhluk itu.
Aku menjerit dan langsung terjatuh.
Pak Darius masuk dan menutup semua jendela.
“Jangan lihat dia. Jangan! Dia tahu kamu yang melihat!”
Korban Kedua
Kami memutuskan untuk pergi besok pagi. Tapi malam itu… Rian keluar sendirian. Ia bilang tak kuat menahan rasa bersalah.
“Saya harus cari Dodi! Mungkin dia masih bisa diselamatkan!”
Kami mencoba menahan, tapi dia nekat lari ke arah sungai.
Sepuluh menit… dua puluh… lalu terdengar teriakan panjang, seperti orang dicekik.
Kami lari menyusul, tapi sudah terlambat.
Di tepi sungai… hanya ada pakaian Rian yang tergeletak. Dan ceceran darah.
Air sungai beriak kecil, seolah baru saja ada yang masuk… atau keluar.
Pulang yang Tak Pernah Sama
Keesokan harinya kami pulang, hanya bertiga.
Saat perahu menjauh dari desa, aku menatap ke belakang. Kabut turun tipis di atas sungai. Dan samar… aku melihat sesuatu berdiri di bawah pohon beringin besar.
Tinggi. Hitam. Berkilau seperti basah. Menatap kami dengan mata merah menyala.
Aku tahu… dia melihatku.
Sejak hari itu, hidupku tak pernah sama. Aku sering mimpi buruk—tentang sungai yang memanggil, tentang mata yang mengintai dari air.
Kadang, saat mandi malam, aku merasa air di kamar mandi bergolak sendiri.
Aku masih ingat wajah Dodi dan Rian. Aku tak bisa lupa.
Dan tiap aku mendengar suara air malam-malam, hatiku langsung dingin.
***
Suara dari Dalam Mimpi
Setelah kembali ke kota, aku berusaha hidup normal. Tapi malam-malamku tak lagi damai. Hampir setiap tidurku disiksa mimpi buruk. Aku melihat Dodi berjalan di sungai yang hitam dan pekat. Ia memanggil namaku dengan suara bergetar dan tubuh yang separuh terendam lumpur.
"Fadil… tolong aku… masih ada waktu…"
Kadang Rian muncul juga, duduk di tepi sungai dengan wajah penuh lumpur dan darah. Matanya kosong, tapi bibirnya bergerak.
"Sungai itu belum selesai denganmu."
Aku mulai takut tidur. Aku pasang lampu sepanjang malam, tapi tak banyak membantu. Di kamar kosku yang sempit, aku kadang mendengar suara tetesan air... padahal kamar mandi kering. Atau suara kecipak dari jendela, meski kamarku di lantai dua.
Aku pergi ke ustaz, ke psikolog, bahkan ke pendeta teman sekantor. Semua menyebut satu hal: traumamu dalam. Tapi aku tahu, ini lebih dari sekadar trauma.
Suatu malam, aku bangun dengan keringat dingin. Ada lumpur di ujung kakiku. Padahal aku belum keluar rumah. Aku semakin yakin, ada sesuatu yang mengikutiku dari sungai itu.
Kembali ke Sungai
Setahun kemudian, aku menerima kabar dari Pak Darius. Lewat pesan singkat ia menulis:
“Sungai memakan dua orang lagi. Mereka mandi malam. Kami butuh kamu kembali. Roh mereka belum tenang.”
Aku ragu. Tapi ada bagian dalam diriku yang merasa ini belum selesai. Aku harus kembali. Untuk Dodi. Untuk Rian. Dan untuk diriku sendiri.
Aku izin cuti dua minggu, dan kembali ke Kalimantan. Pak Darius menjemputku di dermaga. Ia tampak lebih tua dari terakhir kulihat, dengan mata lelah dan rambut beruban.
Kami kembali ke desa. Warga menyambutku diam-diam. Sebagian menatapku dengan iba, sebagian lagi dengan takut. Mereka bilang aku "Orang yang Pernah Dipanggil"—dan bisa jadi satu-satunya yang masih selamat.
Malam pertama aku menginap di rumah kepala adat. Kami melakukan ritual kecil: menabur garam dan membakar kemenyan di tepi sungai. Suara air tetap tenang, tapi hawa malam itu aneh. Dingin… seperti bukan dari dunia ini.
Di kejauhan, terdengar suara erangan pelan. Seperti hewan sekarat… atau seseorang yang ditahan untuk berteriak.
Penampakan Kembali
Malam ketiga, aku bermimpi Dodi lagi. Tapi kali ini, ia tidak tenggelam. Ia berdiri di atas sungai, menunjuk ke arah sebuah pohon beringin besar.
"Dia disegel di bawah akar itu. Kau harus bebaskan aku, Fadil. Bakar tubuhnya."
Aku terbangun dengan tubuh menggigil. Pak Darius langsung mendatangiku.
"Kau bermimpi lagi, ya?"
Aku mengangguk pelan.
Keesokan harinya, kami menuju pohon beringin itu. Kami membawa tiga warga dan seorang dukun tua yang didatangkan dari desa sebelah. Di bawah akar besar, kami mulai menggali.
Setelah hampir dua jam, kami menemukan peti kayu lapuk. Saat dibuka, bau busuk langsung menyeruak. Di dalamnya… tubuh manusia membusuk, dengan sisik menempel di kulitnya. Kepalanya tak ada. Di dadanya, tertancap paku besi.
"Itu penunggunya… dijebak oleh leluhur kami puluhan tahun lalu," kata dukun tua. "Tapi dia tak pernah mati. Ia hanya tidur. Dan setiap kali sungai terkotori atau dilupakan… ia bangun lagi."
Kami membakar tubuh itu dengan minyak dan dupa. Saat api menyala tinggi, terdengar jeritan dari arah sungai. Sungai yang tenang itu… tiba-tiba bergolak.
Air melonjak ke udara seperti ditarik dari bawah. Lalu… sesosok makhluk melayang, setengah terbakar. Wajahnya tak manusiawi, dengan rahang besar dan mata merah membara.
"Kaaaaalian… tak akan bisa mengusirku!" suaranya bergema dari segala arah.
Warga membaca doa keras-keras. Api makin membesar. Sosok itu menjerit, lalu meledak menjadi kabut hitam yang menghilang ke dalam tanah.
Kami semua terduduk. Lelah. Tapi entah kenapa… tenang. Seperti beban berat terangkat dari udara.
Damai yang Terlambat
Sejak hari itu, sungai kembali tenang. Tak ada korban jiwa lagi. Warga kembali percaya pada ritual lama. Mereka membersihkan sungai, menabur bunga dan garam tiap bulan purnama.
Aku kembali ke kota. Dan malam itu, aku bermimpi satu hal terakhir.
Dodi dan Rian berdiri di tepi sungai. Mereka tersenyum.
"Terima kasih, Dil. Kau sudah membebaskan kami."
Lalu mereka berjalan ke dalam kabut… dan menghilang.
Aku terbangun… dan sejak itu, mimpi burukku berhenti.
Tapi setiap kali aku mendengar suara air… aku masih bergidik.
Karena
aku tahu… di Kalimantan, beberapa sungai… masih menyimpan rahasia lama.
Dan
kadang, mereka… memanggil kembali.
Penutup
Kalau kau suatu hari datang ke Kalimantan, dan melihat sungai yang terlalu tenang di malam hari… jangan terlalu dekat.
Kalau kau dengar suara memanggil namamu dari arah air…
Jangan jawab. Jangan menoleh. Dan jangan pernah mandi malam.
Karena sungai itu mungkin masih lapar.
Dan penunggunya… belum kenyang.
(*)
penulis dari belantara borneo
-
HALLO , saya Imran Ibnu , penulis dan pengelola laman ini. Selamat datang di ruang kecil saya di dunia maya—sebuah tempat di mana kata-kata ...
-
ular raksasa yang dipercaya sebagai arwah penunggu sungai Kalimantan (pixabay/ilustrasi) NAMAKU Fadil. Tahun ini usiaku 31 tahun, dan aku b...